Negara hukum atau yang biasa disebut
dengan istilah “rechstaat” sangat erat kaitannya dengan konsep “The Rule
Of Law”. Selain itu, konsep negara hukum juga sangat erat kaitannya
dengan konsepsi “nomocracy”. Apa itu “Nomocracy”? “Nomocracy” adalah
istilah dalam bahasa yunani yang berasal dari kata “nomos” dan “cratos”.
“Nomos” dalam bahasa yunani berarti norma dan “cratos” berarti
kekuasaan. Sederhananya Nomokrasi berarti kekuasaan negara yang
dikendalikan oleh norma-norma (Negara Hukum).
Bangsa Yunani telah lama mengenal konsep
Nomokrasi. Konsepsi tersebut hampir sama dengan konsep kedaulatan hukum
dimana hukum merupakan panglima dalam melaksanan pemerintahan negara.
Sehingga pemimpin tertinggi dalam sebuah negara adalah hukum itu sendiri
(Negara Hukum).
A.V. Dicey seorang pengamat konsitusi inggris yang berasal dari Perancis mengungkapkan konsepsi Negara Hukum dalam tiga hal, yakni:
- Supremacy of Law, yakni supremasi dan superioritas hukum dalam negara hukum;
- Equality Before The Law, yakni negara hukum menyetarakan kedudukan seluruh kelompok masyarakat di hadapan hukum;
- Due Procces of Law, yakni negara hukum hanya menghukum seseorang karena melakukan pelanggaran hukum dan bukan karena alasan lain dengan demikian, dalam negara hukum berlaku yang namanya asas legalitas.
A.V. Dicey merupakan pelopor
pengembangan konsep negara hukum dalam tradisi anglo amerika. Sedangkan
dalam tradisi eropa kontinental, konsep negara hukum dikembangkan oleh
Fichte, Julius Stahl, Paul Laband, Immanuel Kant, dan lain sebagainya
dengan menggunakan istilah “rechstaat”. Konsepsi negara hukum menurut
Julius Stahl dapat diwujudkan dengan mengimplementasikan Pemerintahan
yang berdasarkan Peraturan Perundang-undangan, Pembagian Kekuasaan,
Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Sementara “International Comission of
Jurists” dalam konferensi yang diadakan di Bangkok pada tahun 1965
menekankan pentingnya beberapa prinsip negara hukum yang harus dianut
oleh negara hukum, antara lain: Perlindungan Konstitusional yang berarti
adanya jaminan terhadap hak-hak individu dimana konstitusi negara hukum
harus mengatur prosedur untuk memperoleh perlindungan atas hak yang
tersebut. Selanjutnya adalah adanya prinsip Pendidikan Kewarganegaraan,
Kebebasan Berserikat dan Berorganisasi serta beroposisi, Adanya
Pemilihan umum dalam negara hukum yang diselenggarakan secara bebas
serta adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat.
Seorang Profesor Hukum asal Belanda yang
sangat terkenal, Utrecht membuat pembedaan antara Negara Hukum Formil
atau yang biasa disebut dengan Negara Hukum Klasik dengan Negara Hukum
Materil atau yang biasa disebut dengan istilah Negara Hukum Modern.
Menurut Profesor Utrecht Negara Hukum Formil terkait dengan pengertian
hukum yang masih bersifat formil dan sempit. Dengan kata lain, aturan
hukum masih dipandang sebagai peraturan perundang-undangan atau hukum
tertulis. Sementara dalam Negara Hukum Materil, hukum bersifat lebih
luas sehingga mencakup pula pengertian keadilan yang terkandung dalam
hukum tersebut.
Dalam bukunya yang berjudul “Law in a Changing Society”
Wolfgang Friedman membuat pembedaan antara “rule of law” dalam arti
formil dengan “rule of law” dalam arti materil. Menurut Wolfgang
Friedman, “rule of law” dalam arti formil adalah “organized public power”. Sedangkan “rule of law” dalam arti materil adalah “the rule of just law”.
Pembedaan
oleh Wolfgang Friedman ini dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa
dalam konsepsi mengenai negara hukum keadilan tidak serta merta dapat
diwujudkan secara substansial. Hal ini terutama disebabkan pengertian
masing-masing orang mengenai hukum itu sendiri bisa mendapatkan pengaruh
dari aliran pengertian hukum formil dan dapat pula mendapatkan pengaruh
dari aliran pikiran hukum materil.
Apabila hukum dipahami secara kaku dan
sempit hanya dalam arti peraturan perundang-undangan semata, maka
niscaya pengertian negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit
dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantif. Oleh karena
itu, di samping penggunaan istilah “the rule of law”, seorang Wolfgang Friedman juga mengembangkan istilah “the rule of just law” untuk memastikan bahwa dalam pengertian kita tentang “the rule of law” juga tercakup
pengertian keadilan yang lebih esensial daripada sekedar memandang
peraturan perundang-undangan dalam arti sempit. Meskipun kita tetap
menggunakan istilah “the rule of law”, maka tentu saja kita
berharap itu dimaksudkan sebagai pengertian yang lebih luas untuk
menyebut konsepsi masa kini mengenai negara hukum.
Negara Hukum Indonesia
Negara Indonesia adalah Negara Hukum.
Demikian ditegaskan dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebagai negara
hukum, maka yang seharusnya menjadi panglima dalam dinamika kehidupan
kenegaraan di Indonesia adalah hukum. Bukan politik dan bukan ekonomi. “The rule of law, not of man”
itulah jargon yang biasa digunakan dalam bahasa inggris untuk
menyebutkan prinsip negara hukum. Dalam negara hukum, pemerintahan
adalah hukum sebagai sistem. Negara hukum tidak diatur oleh orang per
orang yang sebenarnya hanya bertindak sebagai boneka dari skenario
sebuah sistem yang mengatur.
Gagasan mengenai negara hukum dibangun
melalui pengembangan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem
yang fungsional dan bekeadilan. Perangkat hukum tersebut dibangun dengan
menata suprastruktur dan infrastruktur kelembagaan politik, kelembagaan
ekonomi dan sosial secara tertib dan teratur serta dibina dengan
membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa serta bernegara.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka sistem hukum itu di Indonesia perlu dibangun (Law Making) dan ditegakkan (Law Enforcing)
sebagaimana yang seharusnya dan tentu saja harus dimulai dengan
penegakan konstitusi sebagai hukum yang paling tinggi kedudukannya dalam
Negara Hukum Indonesia. Dalam rangka menjamin penegakan konstitusi
negara Indonesia sebagai dasar hukum dengan kedudukan tertinggi, maka
telah dibentuk Mahkamah Konstitusi yang akan berperan sebagai “The
Guardian” dan sekaligus “The Ultimate Interpreter of The Constitution”.